Manokwari

  

Hari jadi Kota Manokwari yang jatuh pada tanggal 8 November 1898 dilatarbelakangi oleh peristiwa dibentuknya pos pemerintahan pertama di Manokwari oleh Pemerintahan Hindia Belanda, ketika Residen Ternate Dr. D. W. Horst atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda melantik Tn. L. A. Van Oosterzee pada hari Selasa tanggal 8 November 1898 sebagai Controleer Afdeling Noord New Guinea (Pengawas Wilayah Irian Jaya Bagian Utara) yang waktu itu masih termasuk wilayah keresidenan Ternate. Tanggal 8 November inilah yang selanjutnya ditetapkan sebagai hari jadi Kota Manokwari melalui Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 1995

Manokwari memiliki 12 distrik dengan 132 desa, juga dikenal sebagai kota buah, merupakan pos pertama pemerintah Papua Nugini Belanda di Irian Barat (nama Papua sebelumnya). Manokwari juga merupakan tempat pertama agama Kristen diperkenalkan kepada penduduk Irian oleh dua orang Pendeta Protestan, Ottow dan Geisler, yang mendarat pada 5 Februari 1855.

Berdasarkan mata pencahariannya, masyarakat Papua dikelompokan atas 3 kategori. Pertama adalah masyarakat yang menggunakan sagu sebagai makanan pokok. Masyakat dalam kategori ini, juga menangkap ikan di sungai dan pantai serta bercocok tanam dalam skala terbatas. Pengolahan sagu dilakukan dengan menggunakan metode yang sederhana dan cepat sebelum diolah lebih lanjut menjadi kue atau papeda. Kedua adalah masyarakat yang hidup berpindah-pindah (nomaden), yang menempati daerah sepanjang sungai. Mereka ini mengolah sagu dan berburu babi hutan dan hewan liar lainnya serta sekali-sekali menangkap ikan di sungai, namun mereka tidak bercocok tanam. Ketiga adalah masyarakat yang hidup di lembah yang luas di kawasan Pegununga Tengah. Mereka tidak mengolah sagu, tapi

mereka bercocok tanam tanaman yams, canes dan lain-lain. Mereka hidup di kampung-kampung kecil, yang komunitasnya biasanya terdiri dari kerabat-kerabat mereka sendiri. Masyarakat yang hidup di Pegunungan Tengah dan Dataran Tinggi Jayawijaya terkenal dengan penggunaan Koteka sebagai pakain mereka sehari-hari.

Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat memiliki suku dan bahasa daerah yang paling banyak dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain di Indonesia. Oleh karena itu, kebudayaan Papua sangat baik untuk menggambarkan keberagaman budaya. Berbagai kebudayaan, mulai dari kehidupan komunitas di kawasan-kawasan pesisir sampai ke mereka yang hidup di daratan tinggi, menciptakan mosaik kebudayaan Papua. Namun demikian, kebudayaan suku-suku yang berada di kawasan pesisir sudah banyak dipengaruhi oleh budaya asing yang berlangsung melalui interaksi perdagangan dan misionaris. Sebaliknya, suku-suku di daratan tinggi dan daerah pegunungan yang sulit dijangkau, mereka masih memegang teguh kebudayaan dan tradisi mereka.

Meskipun masyarakat Papua merupakan keturunan Melanesia, mereka terbagi atas sekitar 250 suku yang dikelompokan berdasarkan penampakan tubuh, perbedaan bahasa, kebiasaan, ekspresi budaya dan aspek budaya yang lain. Masing-masing suku memiliki sistem stratifikasi sendiri-sendiri di dalam komunitasnya. Suku yang paling terkenal adalah suku Asmat yang berada di Pantai Selatan dan suku Dani di Lembah Baliem. Suku Asmat terkenal dengan hasil karya seni mereka yang unik, sedangkan suku Dani terkenal dengan ritual-ritual dan tradisi-tradisinya.


http://media-cdn.tripadvisor.com/media/photo-s/01/6d/6b/28/pasir-putih.jpg

Iklim 
Manokwari memilki iklim basah dengan rata-rata curah hujan 2.688 mm per tahun, dan rata-rata curah hujan per hari sebesar 123 mm. Suhu berkisar antara 26o – 32o C. Kelembaban rata-rata 84,7% dan intensitas cahaya matahari sebesar 54,34%. 

Flora 
Tanaman yang ada di Papua mirip dengan yang ada di Australia. Sebagian besar daratan ditumbuhi oleh hutan tropis seperti: hutan estuari, hutan rawa, hutan mossy, dll. Selain itu berbagai pepohonan seperti matoa dan tipis serta tanaman anggrek juga tumbuh disini. 

Fauna 
Burung nuri, kakatua, cendewasih, sea pigeon, biawak, penyu, dan berbagai jenis ikan dapat ditemukan di Papua. 

Bahasa 
Bahasa-bahasa di Papua dikelompokan atas 2 kelompok besar, yakni Melanesia dan non-Melanesia. Bahasa-bahasa non-Melanesia merupakan bahasa asli Papua dan secara linguistik tidak berkaitan dengan bahasa-bahasa lainnya di luar Papua, kecuali untuk mereka yang hidup di pulau-pulau terdekat. Dari 234 bahasa di Papua, hanya 43 bahasa termasuk kelompok Melanesia dan umumnya digunakan oleh masyarakat di kawasan-kawasan pesisir pantai dan hanya sebagian kecil yang digunakan oleh masyarakat di luar kawasan pesisir. Sedangkan bahasa-bahasa non-Melanesia sering disebut sebagai bahasa-bahasa Papua, digunakan baik oleh masyakat yang hidup di kawasan pesisir dan yang di luar kawasan pesisir. Suku-suku yang berbahasa non-Melanesia dipercaya sebagai suku asli Papua. Kedatangan masyarakat yang berbahasa Melanesia dan menetap di kawasan pesisir pantai membuat suku-suku yang berbahasa non-Melanesia perlahan-lahan tersingkir ke daerah pedalaman.